Tanggal 20 Februari 2024 adalah jatuh tempo pelaporan SPT Masa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21/26 untuk masa pajak Januari 2023. Namun, belum tentu semua wajib pajak menyadari adanya perubahan cara pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh 21/26 tersebut. Di antara hiruk-pikuk perubahan ketentuan perpajakan PPh Pasal 21/26, yang paling mencolok adalah perubahan skema perhitungan. Hal ini banyak diulas di berbagai artikel dan seminar perpajakan. Ketentuan tersebut dikukuhkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib PaJak Orang Pribadi (PP 58/2023). Hal ini kemudian diperjelas dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Atau Kegiatan Orang Pribadi (PMK 168/2023).
Secara ringkas pada ketentuan baru ini, kita mengenal cara penghitungan baru, yakni menggunakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER). Tujuan utama perubahan ini adalah untuk memberikan simplifikasi bagi pemotong pajak dalam menghitung pajak terutang karyawan masa Januari sampai dengan November. Sedangkan untuk masa pajak Desember akan dilakukan penghitungan ulang menggunakan tarif Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker). Sehingga pada dasarnya tidak ada pembebanan pajak baru bagi karyawan.
Apabila membaca lebih dalam, terutama dengan terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-2/PJ/2024 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26, terdapat perubahan yang juga signifikan terjadi dalam skema PPh Pasal 21. Yakni dalam hal kewajiban pemotong pajak.
Dalam ketentuan terbaru yang telah terbit, terdapat beberapa hal yang perlu dicermati oleh pemotong pajak, yakni pemotong pajak dalam hal ini pemberi kerja wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21/26, serta wajib menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21/26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang terutang untuk setiap bulan kalender.
Wajib Buat Bupot
Perlu digarisbawahi bahwa kewajiban pemotong untuk membuat bukti pemotongan (bupot) pajak tetap berlaku sekalipun dalam hal jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil atau terdapat pemotongan PPh Pasal 21/26 dengan tarif sebesar 0%. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) PER-2/PJ/2024 yang menyatakan bahwa bukti pemotongan PPh Pasal 21/26 tetap dibuat dalam hal tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 karena jumlah penghasilan yang diterima tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sehingga jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong nihil.
Ketentuan sebelumnya menjelaskan bahwa bupot PPh Pasal 21/26 tidak perlu dibuat dalam hal tidak terdapat pembayaran penghasilan. Artinya, sepanjang perusahaan memberikan penghasilan bagi karyawan, meskipun penghasilan tersebut di bawah PTKP sehingga tidak dipotong pajak, pemberi kerja tetap wajib membuat bukti potong bagi setiap karyawannya. Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya, bahwa jika tidak ada pemotongan pajak penghasilan bagi karyawan, perusahaan tidak perlu membuat bukti potong pajak.
Kemudahan Pembuatan
Pembuatan bukti potong tersebut saat ini sudah diakomodir dengan perubahan aplikasi pelaporan elektronik, dari aplikasi berbasis desktop ke aplikasi berbasis web. Aplikasi berbasis web ini saat ini menggunakan e-Bupot PPh 21/26 yang bisa diakses oleh wajib pajak melalui akun DJP Online masing-masing pemberi kerja. Perubahan aplikasi ini tentunya memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam melakukan penghitungan dan pembuatan bukti potong karena semuanya sudah disediakan oleh sistem hingga dalam sisi pelaporan SPT.
Setelah membuat bukti potong, yang harus dilakukan adalah melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26. Kewajiban pelaporan SPT Masa PPh 21/26 tetap berlaku meskipun jumlah pajak yang dipotong di masa tersebut nihil atau terdapat pemotongan dengan tarif 0%. Jadi, jika perusahaan memberikan penghasilan bagi karyawan, maka dalam bulan tersebut perusahaan wajib membuat bukti potong dan melakukan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26. Dalam ketentuan sebelumnya yang saat ini sudah tidak berlaku, mengatur pelaporan SPT Masa PPh 21/26 tidak perlu dilakukan jika tidak melakukan pemotongan pajak PPh 21 bagi karyawan untuk masa pajak Januari sampai dengan November, dan wajib melakukan pelaporan hanya di masa pajak Desember saja.
Perubahan ini perlu diperhatikan oleh semua pemotong pajak. Pemotong PPh Pasal 21 di sini adalah pemberi kerja yang bisa berupa wajib pajak orang pribadi, instansi pemerintah, badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21/26 UU PPh jo. UU Ciptaker. Bukan hanya tarifnya saja yang berubah, namun tata cara pelaporannya juga perlu diperhatikan. Jadi, jika wajib pajak merupakan pemberi kerja yang membayar penghasilan bagi karyawan, setiap masa pajak ia wajib membuat bukti potong dan melakukan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26.